Senin, 17 November 2008

Cerpen


C I N


Terlalu singkat untuk sebuah nama.Tapi aku tidak peduli aku suka Cin. Aku sayang Cin. Tidak peduli kau tidak satu suku denganku, tidak peduli kau susah dengan bahasaku. Aku tidak peduli Cin. Hanya satu yang kutahu kau sahabat terindahku.
Pertama ku mengenalmu. Seorang pria dengan mata sipit yang tajam. Tertatih kau bicara, seakan lidahmu terlalu panjang tuk mengucapkan kata-kata dalam bahasa Indonesia. Tapi kau baik sekali. Kau kenalkan aku dengan dunia yang tidak pernah kukenal, dunia persahabatan. Ach… Aku tak mampu berkata Cin untuk melukismu.
“Keluarlah…bulan indah sekali !”katamu, saat kurasakan sakit yang sangat menyiksa batin. “Cin… bulannya tertutup awan”, kataku padamu. “yang penting hatimu tak tertutup awan lagi”, ujarmu sambil tersenyum. Cin, kau selalu menghiburku.
Hari terus berlalu, tak terasa dua minggu sudah kau menemani langkahku di sekolah ini. Hari menjadi indah. Tapi aku tak pernah mengatakan itu padamu. “Aku senang jika bisa bersamamu”. Itu katamu saat ku ingin pergi meninggalkanmu. “ Aku sayang Cin….” Hanya dalam hati kata itu terucap. “Temani aku ya…” katamu sekali lagi. Tak terasa air mataku berlinang. “Aku sayang Cin….”
Dua hari sudah kita tak bersama. Kangen sekali… aku kangen dengan logatmu yang aneh itu. Aku kangen dengan tatap sipitmu yang tajam. Aku kangen Cin. Cin kau ada di mana…
“Sar… lihat cin nggak..?” tanyaku ke Sari teman sekelas Cin. “Sakit.., nih ada surat dari dokter”, jawab Sari. Cin sakit. Kenapa aku tak tahu. Sahabat macam apa aku ini..
Pulang sekolah ini aku harus ketemu Cin. Aku harus ke rumahnya. Dengan semangat 45 kulangkahkan kakiku. “Cin, aku datang. Aku kangen banget…”
Tak lama langkahku terhenti di depan rumah bercat hijau. Sepi…
“Assalamu’alaikum…”, tak ada jawaban. Ku ketuk pintunya. Terdengar suara langkah kaki dari dalam rumah. “ Cari siapa Neng !” Tanya seorang wanita paruh baya padaku, sepertinya pembantunya Cin. “Cinnya ada nggak Bu?”, tanyaku. “ Ada, mari masuk. Tunggu di dalam saja “, jawabnya. “ Terima kasih “, jawabku sambil melangkah ke dalam. Rumah yang apik, ujarku dalam hati. “ Bentar ya Neng, mbok lihat dulu, tuan muda sudah bangun apa belum.”katanya sambil berlalu.


Tak lama terdengar suara langkah kaki menuruni anak tangga. “Hallo…Yan”. Suara yang sangat kurindu terdengar begitu dekat. “Cin, kamu sakit apa, kenapa kamu tidak memberitahuku ?” tanyaku sambil menatap wajah yang sangat kurindu selama dua hari ini. Kau hanya tersenyum dan mata sipitmu semakin sipit. “ Aku nggak ingin kamu cemas.., Lagian udah mendingan kok” katamu sambil menatapku dalam.
Lama kami berbincang melepas rindu, cerita tentang guru-guru yang sudah tiga hari ini cuma ngasih tugas karena ada MGMP, sampai pegal tanganku mencatat dan mencatat. Tak henti-hentinya kau menggodaku dengan candamu. Aku bahagia, meski kadang sulit mencerna logatmu dan bahasa Indonesiamu yang aneh. Tapi kalau nggak ada bahasa Indonesia, apa aku bisa kenal Cin. Kalau Cin tidak mau belajar bahasa Indonesia, apa aku sekarang bisa di sini bersamanya bercanda dan tertawa. “Heei, kok melamun Yan. Apa yang sedang kamu pikirkan?” Tanya Cin membuyarkan lamunanku. “Eh, nggak…nggak, Cuma mikir aja, kalau tidak ada bahasa yang baku, mungkin aku, kamu dan semua manusia tidak bisa berkomunikasi. Kita pasti kesulitan. Kalau para pemuda dulu tidak bersumpah “Bahasa Persatuan Bahasa Indonesia”, mungkin aku dan kamu sudah berantem melulu karena pengertian bahasa yang berbeda. Hebat ya.. para pemuda itu. Berpikirnya jauh ke depan.. “ jawabku seperti kereta. Cin sambil tersenyum menatapku. “Kau sampai berpikir sejauh itu… Hebat, hebat. Kita memang harus berterima kasih pada mereka. Mereka sangat berjasa…sangat berjasa.” Mata sipitnya mengerjap sendu. Seakan ada warna duka di sana, tapi ada bahagia menggores tajam di matanya. “Kami bangga padamu Pahlawan”, bisikku lirih.
“Dah sore Cin, aku pulang dulu ya..?. Sampai ketemu besok di Sekolah.Bye...bye. Assalamu’alaikum”kataku berpamitan. Hatiku terasa ringan senja ini, seringan awan putih yang berarak menyambut rinai senja di ufuk barat.
“Aku sayang Kamu Cin…,” bisikku perlahan sambil melangkah menapaki pematang sawah.

Senja tapaki malamku dengan syahdu
Ku ingin menjadi putri di hatimu
Menjadi mawar putihmu
Dalam tangkai yang tak berduri
Bersamamu ingin ku mencari
Arti sebuah cinta yang sejati

Tidak ada komentar: